Penyanyi campursari Didi Kempot meninggal dunia pada Selasa (5/5/2020). Menurut kakak kandung Didi Kempot, Lilik, adiknya sempat tidak enak badan pada Senin (4/5/2020) malam. "Bilang, kok panas, nunggu di hotel dulu. Setelah satu jam, pulang, ke dokter dulu," kata Lilik dalam wawancara di Kompas TV.
Didi Kempot kemudian pergi ke Rumah Sakit Kasih Ibu di Solo malam itu. Selama hidupnya, Didi Kempot tak jarang ciptakan lagu berlatar daerah atau tempat wisata. Satu lagunya adalah Banyu Langit yang menceritakan tentang destinasi Gunung Api Purba Nglanggeran.
"Ademe gunung merapi purbo. Melu krungu swaramu ngomongke opo. Ademe gunung merapi purbo. Sing ning langgran Wonosari Jogjakarta." Begitu sepenggal lirik lagu 'Banyu Langit' karya Didi Kempot, yang mengambil cerita tentang Gunung Api Purba Nglanggeran di Patuk, Gunungkidul, Yogyakarta berdampak postif bagi perkembangan wisata di sana. Ternyata Gunung Api Purba Nglanggeran memiliki keunikan tersendiri yaitu sebuah perkampungan yang disebut dengan Kampung Pitu Nglanggeran.
Sekilas, tak ada yang tampak berbeda dari warga Kampung Pitu. Penduduk Kampung Pitu sama seperti penduduk Indonesia pada umumnya, mengenakan pakaian yang sama dengan kita. Namun di balik kesan biasa saja tersebut, terdapat hal unik dari Kampung Pitu.
Kampung Pitu Nglanggeran merupakan sebuah perkampungan yang hanya dihuni oleh 7 orang keluarga sejak zaman dahulu kala. Dan kini, dari 7 orang keluarga tersebut, Kampung Pitu dihuni oleh sekitar 25 orang jiwa. Sebetulnya, tidak ada aturan tertulis yang menyebut penghuni Kampung Pitu harus berjumlah 7 kepala keluarga.
Namun ketika Kampung Pitu terdapat 8 orang kepala keluarga, kerap kali terjadi bencana maupun cekcok yang kemudian membuat Kampung Pitu kembali berjumlah 7 orang kepala keluarga. Kampung Pitu Nglanggeran dulunya bernama Desa Telaga Planggeran. Di tempat tersebut terdapat telaga yang tak pernah mengering walau sedang musim kemarau.
Telaga tersebut dahulu kerap digunakan untuk guyang (memandikan) kuda sembrani karena hal inilah telaga tersebut kerap disebut dengan Telaga Guyangan. Konon, pada zaman dahulu pernah datang orang keraton ke kawasan Kampung Nglanggeran. Orang keraton tersebut mengetahui bahwa di Kampung Pitu terdapat pohon Kinah Gadung Wulung yang di dalamnya berisi sebuah pusaka.
Oleh orang keraton tersebut, lantas dibuatlah sayembara: “Barang siapa yang bisa merawat benda pusaka tersebut maka akan diberi tanah secukupnya untuk penghidupannya beserta anak cucu keturunannya”. Saat itu, keturunan Mbah Kiai Irokromo lah pemenangnya. Hingga kini, penghuni Kampung Pitu adalah keturunan Mbah Kiai Irokromo.